Merangkai Mali dan Pulau Sika di Kabola

Kabola, salah satu kelurahan bagian dari Kecamatan Kabola – nama yang sama, di Kabupaten Alor, NTT. Kata Kabola diperkirakan berasal dari kata kabala, yaitu kulit pohon kayu kaa yang digunakan untuk pakaian, dan hingga saat ini masih digunakan sebagai bahan dasar membuat pakaian adat suku Kabola. Sayangnya pohon kaa sudah tidak bisa ditemui lagi di Kabola, namun masih ada di Desa Kopidil – sekitar 5 km dari Kelurahan Kabola.

Mali dan Pulau Sika merupakan satu kawasan, bagian dari Kelurahan Kabola. Keduanya mempunyai kisah yang saling terkait, yang mulai dituturkan ketika seorang Sultan dari Cirebon datang ke Pulau Sika yang keramat. Ketika itu Sang Sultan berjanji akan selalu menjaga masyarakat Mali dan keturunannya. Sayangnya juga, pada kunjungan saya ke Kabola kali ini tidak berkesempatan untuk menginjakkan kaki di Pulau Sika karena angin kencang.

Jadi cerita ini adalah rangkaian kisah yang diceritakan Pak Onesimus Laa, salah satu keturunan Ol’Oho, sang Kepala Suku Kabola. Sejak tahun 2015, Pak One bersama WWF Lesser Sunda di Alor mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan SAP (Suaka Alam Perairan) Selat Pantar dan laut sekitarnya. Kisah ini adalah sebagian dari catatan perjalanan saya bersama WWF di Alor.

3_PantaiSika (81)

Kampung Mali

Rumput padang yang mengering di musim kemarau dinamakan padang pemali. Dulu, setiap tahun padang pemali dibakar untuk kebutuhan adat, yaitu untuk memburu binatang hutan seperti babi dan rusa. Sebelum membakar padang pemali, suku Raja mengundang seluruh suku yang ada di Kabola. Para undangan dari seluruh suku yang hadir akan berkumpul di titik-titik tertentu, bersembunyi di belakang padang pemali. Padang pemali akan dibakar oleh suku Kepitang sebagai suku pengawal raja, atas perintah suku Raja. Ketika dibakar itulah babi akan lewat dan rusa akan keluar dari lubangnya. Saat itulah setiap orang akan menombak rusa atau babi. Suku yang paling banyak mendapatkan babi atau rusa, akan mendapatkan bagian yang paling banyak.

Kemudian, pada tahun 1972, ada banyak masyarakat Mali yang tewas ketika memasuki Pulau Sika, pulau kecil di seberang kawasan padang pemali, karena melakukan kesalahan. Ketika itu Pulau Sika adalah pulau kosong dan dikenal sebagai pulau keramat. Kemudian dilakukan persembahyangan, memohon supaya “beliau” yang ada di Pulau Sika tidak lagi menghukum orang-orang yang masuk ke pulau Sika dan melakukan kesalahan di sana karena mereka tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan. Dikhawatirkan, jika hal itu terus berlanjut, orang Kabola lama kelamaan akan punah. Sebagai “bayarannya”, kata pemali kemudian diubah menjadi mali.

3_KafeSeli_Muara (39)

Pulau Sika

Alkisah, ada seorang sultan dari Cirebon yang bernama Sultan Alamudin – salah satu keturunan Wali Songo, datang ke Pulau Sika. Alamudin memiliki kesaktian bisa menjadi api yang menyala di atas laut, hanya terlihat seperti kayu yang mengapung di atas air laut. Beliau berjalan dari Cirebon ke Aceh, Kendari, Maumere di Flores, Pantai Bota, hingga ke Tabana Ji’ara (ujung Kampung Mali, saat ini sudah menjadi bandara). Ketika itu, Ketua Suku Raja di Kabola yang bernama Ol’Oho mempunyai rumah di tempat tersebut bernama Heleu yang artinya batu rumah, karena rumahnya terbuat dari batu. Namun Ol’Oho sendiri tinggal di Meguli, di Kampung Lama. Ia mempunyai dua ekor anjing yang saat itu tidak pulang ke rumah tinggal. Ol’Oho kemudian mencari anjing tersebut, dan terdengar suara gonggongannya di ujung pantai. Ketika tiba di pintu tongke, bertemulah Ketua Suku Raja dengan Sultan Alamudin.

Singkat cerita, Ol’Oho kemudian membuat kesepakatan dengan Alamudin untuk menikahkan Alamudin dengan putrinya yang bernama Bui. Sebelum pernikahan dilaksanakan, Ol’Oho harus pulang ke Meguli untuk melakukan pesan dari Alamudin. Setelah melakukannya, Ol’Oho turun kembali ke pantai bersama putrinya menemui Alamudin. Alamudin bermaksud menumpang di pulau Ol’Oho, namun saat itu air laut sedang tinggi sehingga tidak bisa menyeberang. Alamudin kemudian mengatakan bahwa ia akan berenang dulu ke pulau Sika, dan Ol’Oho bersama Bui mengikuti di belakangnya. Ternyata jalur renang Alamudin berubah menjadi pasir sehingga Ol’Oho dan Bui bisa berjalan ke pulau.

3_PantaiSika (67)IMG_6319

Apa yang terjadi kemudian dengan Bui dan Sultan Alamudin? Untuk mengetahui kisah ini lebih lanjut, silakan datang langsung ke Kabola, bertemu dengan teman-teman pemandu Ekowisata Alor di Kabola. Sebagai informasi, hingga saat ini makan Sultan Alamudin masih sering dikunjungi.